Laman

Minggu, 09 Mei 2010

belajar jadi penulis

Menanti pergantian senja di dpan layar kaca.Sebuah acara yang menarik sudut mata untuk tetap bertahan menatap & mendengarnya cukup lama. mmmm...... seorang siswi kelas 5 yang sedang belajar menjadi penulis, alasannya,sungguh berbeda dari siswi yang lain, karena menulis itu sangattt....sulit, Sementara dengan menulis kita bebas berekspresi dengan kata-kata yang penuh makna.
Tahapan menulis amatlah mudah hanya terkadang kita tidak menyadarinya.
1. Bebaskan fikiran kita untuk menjelajahi semua warna kehidupan
2. Catat hal-hal yang berkesan.
3.Catat kata atau kalimat yang "beraroma" keindahan dan puitis, suka or duka.
4.Beri tanda dengan tanggal atau tema pada tiap tulisan.
5. Saat ada waktu luang gunakan untuk mengembangkan setiap kata atau kalimat yang telah tersimpan.
6.Tulislah dengan perasaan yang bebas lepas,tidak perlu kwatir akan kesalahan.
7.Koreksi kembali tulisan yang telah selesai.
8.Tanamkan dalam jiwa, bahwa belajar harus bebas,lepas & Santun.

Selamat belajar..........!

Senin, 03 Mei 2010

coffe break..............!

TERIAKAN bocah malang itu tidak juga menghentikan gerakan tangan sang ayah untuk berhenti memukuli tubuh ringkihnya. Barulah setelah tubuh itu diam tak bergerak, kesadaran si ayah langsung pulih. Apa boleh buat, nasi sudah menjadi bubur, nyawa pun melayang sia-sia.
Itu bukan cerita rekaan, tapi benar terjadi Desember 1984. Kasus penganiayaan terhadap Arie Hanggara yang dilakukan ayahnya, menjadi cerita memilukan. Bahkan sempat diangkat ke layar perak.

Arie menjadi korban kekerasan ayahnya yang menyebabkan nyawanya melayang. Ternyata Arie bukan anak terakhir yang mengalami nasib memilukan ini. Penyiksaan anak (child abuse) malah terjadi sepanjang tahun. Bahkan UNICEF pada 2003 melansir laporan sebanyak 3.500 anak berusia kurang dari 15 tahun tewas setiap tahun akibat perlakukan kejam.

Riset yang dilakukan UNICEF di beberapa negara itu juga menunjukkan tingkat kekerasan yang berakhir dengan kematian terjadi di negara-negara kawasan Amerika, Eropa, Pasifik, tergolong tinggi, seperti di AS, Meksiko, Portugal, Belgia, Ceko, Hongaria, Prancis, dan Selandia Baru. Namun Spanyol, Yunani, Italia, Irlandia, dan Norwegia justru tergolong rendah.

Dari temuan UNICEF, ada dua faktor penyebab terjadinya kekerasan terhadap anak. Pertama, stres dan kemiskinan. Kemudian rumah tangga yang kerap diwarnai kekerasan antara suami dan istri.

Bentuk kekerasan yang tidak tepat bisa berpengaruh buruk pada anak dalam jangka panjang. Makian kasar seperti “dasar anak sial” atau “dasar anak nakal” akan terekam kuat dalam diri si anak.

Anak yang sering dimarahi orang tuanya, apalagi diikuti dengan penyiksaan, cenderung meniru perilaku buruk (coping mechanism) seperti bulimia nervosa (memuntahkan makanan kembali), penyimpangan pola makan, anorexia (takut gemuk), kecanduan alkohol dan obat-obatan, dan memiliki dorongan bunuh diri.

“Marah merupakan hal yang normal, tapi kemarahan yang tidak tepat bisa memengaruhi kondisi psikis dan fisik anak,” ujar psikolog dari Jagadnita, Diah P Paramita dalam acara bertajuk ‘Seni bertengkar sehat dengan anak’ di Jakarta, Sabtu (30/8).

Sedangkan psikolog dari Medicare Clinic Anna Surti Ariani menambahkan, tindakan seperti mencubit atau memukul sedapat mungkin dihindari, karena sama sekali tidak perlu. “Asalkan menguasai teknik-teknik mendisiplinkan anak, 50% kenakalan anak akan teratasi,” katanya.

Menurut Nina, begitu ia disapa, mendisiplinkan anak balita harus secara konkret, seperti menunjukkan wajah cemberut. Pada usia ini mereka cenderung meniru. Hal ini sesuai dengan perkembangan kognitif anak. Sedangkan pada anak usia SD disarankan menggunakan metode broken record (piringan hitam rusak). “Ibarat piringan hitam rusak, ucapkan apa yang diinginkan orang tua berulang-ulang,” jelas Nina.

Diah pun menambahkan, marah yang bertujuan untuk mendidik dan memperbaiki kesalahan-kesalahan agar perbuatan serupa tidak terulang lagi. Kemarahan yang diekspresikan secara tidak tepat, akan memengaruhi kemampuan orang tua dalam menerapkan disiplin dan memengaruhi hubungan orang tua dengan anak.

Marah yang diikuti pemukulan menimbulkan luka batin, benci terhadap orang tua, rendah diri, antisosial, dan suka berkelahi. “Anak-anak suka meniru, kalau dipukul akan balas memukul. Selain itu memukul tidak mengubah perilaku,” sambung Diah.

Child Right Information Network–sebuah organisasi yang peduli pada nasib anak-anak– memaparkan pemukulan terhadap anak-anak (baik dengan tangan, ikat pinggang, tongkat, atau sepatu), menendang, melempar, mengguncang-guncangkan tubuh anak, mencakar, menggigit, menyuruh anak diam dalam posisi yang membuatnya tidak nyaman, bila terjadi di Eropa dapat dikenai tuduhan melakukan tindakan kriminal. Austria, Denmark, Finlandia, Islandia, Jerman, Norwegia, dan Swedia memiliki UU yang melarang keras penyiksaan fisik terhadap anak-anak.

Kekesalan orang tua bisa berdampak pada anak. Maka dari itu, orang tua harus menyelesaikan masalahnya lebih dulu. Menurut Diah, orang tua bisa mengikuti terapi untuk mengatasi kemarahan di masa lalu.

Selanjutnya melakukan identifikasi masalah di masa lalu. “Anak yang ibunya sering sekali marah akan sulit untuk disiplin,” tegasnya.

Dalam dialog tersebut juga terungkap bahwa anak yang dekat dengan orang tuanya akan jarang marah. Bila hubungan itu harmonis dan akrab, orang tua lebih mengenal karakter anak sehingga dapat menghindari kondisi pemicu pertengkaran. Diah menyarankan menarik napas setiap kali hendak marah. “Kondisikan diri untuk tidak memerhatikan hal-hal kecil yang bisa membuat marah.”

Agar hubungan orang tua-anak harmonis tingkatkan pendekatan dengan melakukan kegiatan bersama. Kemudian memberi contoh/sikap yang baik bisa meningkatkan rasa percaya diri. Meluangkan waktu untuk bermain bersama, dan memberikan tanggung jawab, membuat anak merasa spesial. “Ajak anak menyiram tanaman biarkan anak memegang selang air,” jelas Diah memberi contoh.
Selain hal yang diungkapkan di atas, Diah menyarankan orang tua menjalin komunikasi nonverbal. Yakni melakukan kontak mata saat berbicara, sikap tubuh sejajar saat berbicara (sambil duduk atau jongkok), rendahkan nada suara, berikan pelukan dan sentuhan lembut pada kepala sebagai tanda berbaikan usai memarahi.

Sumber : Media Indonesia Online&admin blog

Notes:
Jika anak dibesarkan dg celaan, ia belajar memaki
Jika anak dibesarkan dengan permusuhan, ia belajar berkelahi
Jika anak dibesarkan dengan kebohongan, ia belajar menjadi insan munafik
Jika anak dibesarkan dengan pujian, ia belajar menghargai
Jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, ia belajar menemukan cinta dalam kehidupan.

mentari pagi,3 Mei 2010

 Semua sudah mempersiapkan diri untuk bertugas sebagai pengibar  bendera pagi ini, saat itu siswa-siswi sudah berbaris dengan rapi lengkap dengan pimpinan upacara yang telah berada di lapangan
upacara.Hari ini upacara bendera begitu special karena sekaligus memperingati Hari Pendidikan Nasional dengan pembina upacara Bapak Ketua Yayasan.
tapi...............upzzzz.....,beberapa menit sebelum acara dimulai,seorang gadis manis,semampai,biasa aku memanggilnya "Manohara" karena memang parasnya yang cantik,perlahan tapi pasti tubuhnya dengan gemulai menyapa bumi hingga kami semua terkejut terutama aku,karena beberapa menit sebelumnya,ia bertanya mengenai letak lipatan bendera,apakah ada kekeliruan yang akan menyebabkan kesalahan pada saat pengibaran.Dengan sigap salah satu pejuang pendidikan membawa ke ruang UKS,dan satu hal yang sangat membuatku terharu adalah, dengan cepat dan sigap salah satu anggota paskibra segera  berlari mencari pengganti pada barisan peserta upacara tanpa ada rasa cemas sedikitpun.Mungkin bagi orang lain hal biasa dengan sikap dan ekspresi demikian,tapi bagiku sungguh luar biasa,"DAPAT DENGAN SEGERA MENYIKAPI KEADAAN " dengan usia yang masih dini.SELAMAT DAN SUKSES KEPADA  "PETUGAS PENGIBAR BENDERA SDI AT-TAUBAH" Teruntuk Reynara; tetap jaga kesehatan, 2 Syifa Jasmine K; Tindakan yang sangat tepat,tidak panik dalam situasi apapun,Terus melangkah jangan terhenti hanya karena kondisi dan situasi yang masih bisa diantisipasi. o.k.